Periwayatan Hadis bil Lafzhi dan Periwayatan Hadis Bil Makna
Tugas
individu
MAKALAH ULUMUL HADIST
“Periwayatan
Hadis bil Lafzhi dan Periwayatan Hadis Bil Makna”
Dosen Pengampu : Dr. Alamsyah,S.Ag.,M.Ag.
Disusun oleh :
Hyang Kinasih Gusti
1321020083
SIYASAH (HUKUM TATA NEGARA)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan hidayahnya, penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Selawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW.
Dalam makalah ini penulis bermaksud
menjelaskan secara detail tentang “Periwayatan Hadis bil Lafzh dan Periwayatan
Hadis Bil Makna”. Adapun tujuan selanjutnya adalah
untuk memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah ulumul hadist’.
Akhir kata, tak ada gading yang tak
retak, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Bandar Lampung,
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................ ii
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ................................................ 1
BAB
2 PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Periwayatan Hadis…………………….………… 2
2.1.1 Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)…………. 3
2.2
Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)……………. 5
2.2.1
Hukum Periwayatan Hadis secara Makna……….…. 7
2.2.2
Syarat–syarat
Periwayatan Secara Makna……….... 10
BAB
3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan ..................................................................... 13
Daftar
Pustaka........................................................................ 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran hadis atau al-sunnah dalam kehidupan
masyarakat menjadi penting tatkala dalam Al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan
yang rinci dalam suatu persoalan. Hadis atau al-sunnah yang menjadi penjelas
atau bayan Al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tektual Al-Qur’an.
Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat tentang pengertian hadis dengan
al-sunnah. Pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyebutkan bahwa
hadis dan al-sunnah dua istilah yang semakna. Pendapat itu memunculkan kritik
yang cenderung membedakan antara dua istilah tersebut. Nurcholis Madjid
misalnya, dia menilai sunnah lebih luas dari hadis. Pemahaman Rasulullah
terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya
membentuk “tradisi” atau sunnah kenabian (al-sunnah nabawiyah). Sedangkan hadis
merupakan bentuk reportasi atau penuturan tentang apa yang disebabkan
Rasulullah SAW atau yang dijalankankan dalam praktik, atau tindakan orang lain
yang didiamkan beliau.
Dalam ajaran Islam, hadis atau sunnah
(selanjutnya disebut hadis) menempati posisi yang sangat penting , yaitu
sebagai sumber ajaran kedua setelah Alquran. lebih spesifik lagi, dari sudut
pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara periwayatan hadis. Pertama,
periwayatan dengan lafaz (dalam tulisan ini disebut pula lafal) , yaitu hadis
diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafal hadis yang
diterimanya dari orang yang menyampaikan hadis tersebut kepadanya, tanpa ada
perubahan, pengurangan, penambahan, atau perbedaan. Kedua, periwayatan dengan
makna, yaitu periwayatan hadis dengan redaksi yang berbeda dari redaksi hadis
yang diterima oleh para perawi, namun isi maksud dan maknanya sama.
Terkait dengan hal tersebut tulisan ini akan
mencoba membahas lebih jauh tentang periwayatan hadis dengan makna. periwayatan
hadis dengan makna sangat terkait dengan hadis qauliyah. Hal ini disebabkan
hadis fi’liyah dan taqririyah redaksinya bukan berasal dari Rasulullah,
melainkan dari sahabat yang membuat reportasi kehidupan beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BEBERAPA PENYEBAB PERIWAYATAN BI AL- MAKNA
Pada awal Islam sampai khalifah kedua, hadis
tidak ditulis dalam buku-buku yang berjilid. Ketika itu hadis masih merupakan
tulisan-tulisan yang terserak pada lembaran-lembaran hati (hafalan). Dalam
beberapa sumber disebutkan bahwa keengganan untuk menulis hadis tersebut
disebabkan kekuatiran tercampurnya ayat al-Quran dengan hadis Nabi SAW.
Lebih-lebih lagi bagi generasi selanjutnya
yang tidak menyaksikan zaman tanzil ( masa turunnya wahyu ), yang tidak
mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu, hingga
bercampur aduk antara al-Quran dan hadis Nabi SAW.
[Mengutip Rasm Jafarian, Jalaluddin Rahmat
mensinyalir keengganan menulis hadis pada era sahabat tersebut menjadi sebab
periwayatan dengan makna. Lebih jauh dia menulis, karena orang hanya menerima
hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis mereka hanya menyampaikan
maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksi hadispun dapat berubah-ubah.
Makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis
berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, para
sahabat menyebarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diketahuinya kepada orang lain
baik dengan lapazh sebagaimana ia mendengar/menerima hadis tersebut dari Nabi
SAW apabila hadis itu masih melekat pada telinga mereka. Atau mereka
menyampaikannya berdasarkan makna yang dikandung hadis tersebut apabila mereka
tidak hafal lagi dengan lafaznya.
Dengan demikian, faktor terjadinya periwayatan
hadis bilma’na adalah belum ditulisnya hadis sehingga berlanjut pada faktor
ingatan dan hafalan perawi hadis dengan lapadz hadis yang diterimanya. Hal ini
dikuatkan lagi dengan pendapat Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, “Jika seseorang
perawi tidak lupa dengan lapazh hadis, maka ia tidak boleh meriwayatkannya
bilma’na, sebab kalam Nabi SAW adalah kalimat (perkataan) yang fasih (fashahah)
yang tidak terdapat pada perkataan lainnya”. Hal ini berarti perawi yang lupa
dengan lapazh hadis yang diterimanya boleh meriwayatkan hadis itu dengan
maknanya saja, dengan syarat-syarat tertentu.
B. KETENTUAN PERIWAYATAN HADIS BI AL-MAKNA
Keabsahan periwayatan hadis bil makna
memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573
H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan
meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang
mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa
Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi
SAW.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan
demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat
terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan
bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir
dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami
keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata Çæ
ßãÇ ÞÇ á atau Çæ äÍæ åÐÇ atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan
hadis yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya
terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam
keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah
SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya
periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari
Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus
dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul
seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua,
perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafal dan maksud-maksudnya;
ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara
lafal-lafal tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan
menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau
kekeliruan. Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat
lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian
hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na , tetapi boleh meriwayatkan
bil-lafzh. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang sifat-sifat seorang perawi
sebagai berikut:
1. Tsiqah dalam beragama
2. Terkenal kejujurannya dalam periwayatan
hadisnya.
3. Mengetahui dengan apa yang diriwayatkannya
4. Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan
lapazhnya.
5. Terkenal sebagai perawi hadis bil lafzh.
6. Hafal jika ia meriwayatkan hadis dari
hapalannya.
7. Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis
dari catatan (tulisannya).
Selain itu, orang yang mengetahui dengan
segala makna hadis dari segi lapaznya, ia boleh meriwayatkannya dengan maknanya
saja apabila ia tidak dapat mendatangkan lapazhnya yang asli, karena ia
menerima hadis itu dengan lapaz dan maknanya. Namun ia tidak mampu untuk
menyampaikan salah satunya (lapazhnya ), maka boleh saja ia meriwayatkan hadis
itu dengan maknanya selama dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan
(khatha’), Sebab tidak menyampaikan hadis dengan maknanya dinilai
menyembunyikan hukum.
Dari dua pendapat tersebut, paling tidak
menunjukkan satu hal penting bahwa periwayatan hadis secara makna tidak bebas
dilakukan oleh para perawi. Meskipun demikian, kebolehan tersebut juga membuka
peluang perbedaan dan keragaman susunan redaksi matan. Perbedaan redaksi matan
tersebut terjadi terutama karena adanya perbedaan sanad yang disebabkan
perbedaan perawi. Perawi yang berbeda akan menyebabkan kemungkinan terjadinya
perbedaan dalam menerima suatu riwayat dan perbedaan dalam ketentuan yang
dipedomani serta aplikasinya dalam periwayatan hadis secara makna.
Sebagai contoh perbedaan redaksi matan yang
disebabkan perbedaan sanad adalah hadis tentang niat yang ditemui dalam Shahih
Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al Tirmidzi, Sunan Al Nasa’i,
Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad Ibnu Hambal. Sahih Bukhari menyebut hadis
tentang niat dalam tujuh tempat Perbedaan tersebut dapat dilihat sejak awal
matan pada empat redaksi hadis berikut:
Hadis pertama
حدثناابوالنعمان حدثنا حماربن زيد عن يحي بن سعيد عن محمد بن ابراهيم عن علقمة بن وقاص قال سمعت عمرابن الخطاب رضيالله عنه يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول يآايهناس انماالاعمال بالنيات
Hadiskedua:
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا عبد الوهاب قال سمعت يحي سعيد من سعيد يقول أخبرني
محمد بن ابراهيم انه سمع علقمة بن وقاص الليثى يقول سمعت عمرابن الخطاب رضيالله
عنه يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول انماالاعمال بالنيات
Hadis ketiga
حدثناالحميدي عبدالله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحي بن سعيد
الانصاري قال اخبر نى محمد بن ابراهيم التيمي انه سمع علقمة بن وقاص الليثى يقول
سمعت عمرابن الخطاب رضيالله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول انماالاعمال بالنيات.
Hadis Keempat :
Hadis Keempat :
حدثنا عبدالله بن مسلمة قال اخبرنا مالك عن يحي بن سعيد عن محمدبن ابراهيم عن
علقمة بن وقاص عن عمران رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول انماالاعمال بالنيات.
Dari empat buah hadis tersebut, bisa dilihat
sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis
tersebut adalah Umar ibn Al Khathab. Nama-nama perawi dalam sanad hadis
tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (thabaqat) pertama sampai dengan
keempat, yaitu:
1. Umar ibn al Khathab
2. Alqamah ibn Waqqash al Laitsi
3. Muhammad ibn Ibrahim al Tamimi dan
4. Yahya ibn Sa’id al Anshari
Akan tetapi, terdapat perbedaan perawi pada
thabaqat kelima, yaitu :
1. Hammad ibn Zaid
2. Abdul Wahab
3. Sufyan ibn Uyainah
4. Malik ibn Anas
Perbedaan perawi juga terjadi pada thabaqat
keenam, yaitu sebelum Bukhari, yaitu :
1. Abu al Nu’man
2. Qutaibah
3. Al Humaydi Abd Allah ibn Zubair
4. Abd Allah ibn Maslamah
Dengan demikian terlihat bahwa periwayatan
secara makna tidak hanya memunculkan perbedaan redaksi, tetapi juga dalam hal
pemilihan kata-kata, sesuai dengan perbedaan waktu dan kondisi di mana perawi
itu berada. Sangat mungkin, kata-kata tersebut semakna dengan kata-kata yang
lazim digunakan pada masa Rasulullah SAW.
C. STATUS HADIS YANG DIRIWAYATKAN BI AL-MAKNA
Seperti telah disorot pada bagian awal tulisan
ini bahwa periwayatan secara makna oleh selain sahabat memunculkan dua pendapat
yang berbeda, yaitu pendapat yang membolehkan serta pendapat yang melarang
periwayatan secara makna. Ibnu Sirin, Sa’lab, Abdullah bin Umar dan Abu Bakar
Razi merupakan tokoh yang tidak membolehkan sama sekali periwayatan hadis
secara makna. Mereka yang menolak periwayatan hadis dengan makna mempunyai
dalil seperti sebuah hadis yang diriwayatkan at Turmudzi, dan diriwayatkan pula
oleh Ahmad bin Hanbal, Ibn Majah dan Ibnu Hibban.
حدثنا محمودبن غيلان حدثنا ابوداود انباءناثعبة عن سماك بن حرب قال سمعت
عبدالرحمن بن عبدالله بن مسعود يحدث عن ابيه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم
يقول نضرالله امرا سمع منا شياء فبلغه كما سمع فرب مبلغ اوعى سامع قال ابو عيسى
هذاحديث حسن صحيح وقد رواه عبدالملك بن عمير عن عبدالرحمن بن عبدالله
Menceritakan kepada kami Mahmud bin Gailan,
menceritakan kepada kami Abu Daud, mengabarkan kepada kami Syub’ah dari Simak
bin Harb, ia berkata, “aku mendengar ‘Abd Rahman bin Abdullah bin Mas’ud
menceritakan dari ayahnya, katanya, “aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Allah
mempercantik rupa seseorang yang mendengar sesuatu dari kami lalu ia
menyampaikannya sebagaimana ia dengar. Banyak sekali orang yang menyampaikan
lebih mengerti daripada orang yang menerimanya”
Selain dalil naqli tersebut, mereka juga
mengemukan dalil rasional untuk menentang periwayatan hadis dengan makna.
Pertama, periwayatan dengan makna dapat memunculkan perbedaan pengertian lafal
yang disampaikan perawi dengan lafal aslinya. Sementara perawi tersebut
menganggap perbedaan tersebut tidak ada. Kedua, jika seorang perawi boleh
mengganti lafal yang diucapkan Rasulullah dengan lafalnya sendiri, tentunya,
perawi berikutnya dapat mengganti lafal yang didengarnya dengan lafalnya
sendiri.
Jika kita berasumsi sama dengan pendapat yang
melarang periwayatan secara maknawi, maka bisa disepakati bahwa hadis yang
diriwayatkan dengan makna oleh selain sahabat patut diduga sebagai hadis dhaif.
Akan tetapi, pendapat yang populer
mengungkapkan bahwa keshahihan sebuah hadis berdasarkan cara periwayatan hadis
bilma’na atau billafazh bukanlah sebuah persoalan, asal perawi yang
meriwayatkan hadis tersebut memenuhi syarat-syarat tertentu seperti yang telah
disebutkan di atas.
Tokoh-tokoh yang membolehkan periwayatan hadis
dengan makna ini antara lain ialah Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Anas bin
Malik, Abu Darda’, Wasilah bin al Asqa’, Abu Hurairah, Hasan al Bashri, asy
Sya’bi, ‘Amr bin Dinar, Ibrahim an Nakha’i, Mujahid dan Ikrimah. Mereka tidak
hanya sekedar membolehkan, tetapi juga meriwayatkan dengan makna.
Dengan demikian, dapat diduga bahwa sebenarnya
ulama yang membolehkan periwayatan dengan makna bukan berarti tidak waspada
terhadap kemungkinan pemalsuan hadis, mereka sangat waspada dan mengkhawatirkan
akan terjadinya kekeliruan dalam periwayatan hadis dengan makna sehingga mereka
menetapkan syarat-syarat yang berat.
Jika sepakat dengan pendapat tersebut, maka
kesahihan hadis tidak dilihat dari bentuk periwayatannya, lafaz atau makna.
Sehingga hadis yang diriwayatkan dengan makna atau dengan lafaz bisa shahih
bisa juga dhaif. Hadis tersebut harus dilihat dari syarat-syarat kesahihahan
sebuah hadis.
Dengan mengutip Hasby As Shiddieqy, bisa
dipahami bahwa hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya dengan riwayat
orang yang dipercaya (tsiqah ) dari orang yang terpercaya sejak awal sampai
akhir tanpa ada syadz tanpa ada “Illat”. Sedangkan hadis hasan adalah hadis
yang selamat lafaznya dari keburukan susunan. Selamat maknanya dari menyalahi
ayat atau khabar muttawatir, dan isnadnya bersambung dengan orang yang adil dan
dhabit.
Jika dilihat dari sudut redaksi matan,
periwayatan hadis dengan makna dapat ditolak jika matan hadis tersebut memiliki
kelemahan kalimat, lemah dari segi makna, jelas bertentangan dengan Alquran,
berlebihan tentang pahala dan dosa, dan bertentangan dengan sejarah di masa
Rasulullah SAW.
BAB III
KESIMPULAN
Tulisan ini menawarkan beberapa kesimpulan,
yaitu :
1. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan
syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
2. Meskipun pendapat yang populer membolehkan
periwayatan dengan makna, namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan
periwayatan hadis dengan lafal lebih diprioritaskan dan diutamakan.
3. Penulisan periwayatan hadis bi al-makna hanya
boleh dilakukan oleh mereka yang bena-benar memenuhi syarat. Sehingga bagi
mereka yang syaratnya belum mencukupi sebaiknya tidak usah melakukan
periwayatan bil makna. Hal ini untuk menjaga supaya hadis tetap menjadi acuan
yang otentik tanpa campur tangan manusia yang mau merubah (memalingkan) isi
hadis tersebut.
4. Harus memperhatikan pedoman dan ilmu-ilmu yang
baku bagi mereka yang akan melakukan periwayatan bil makna.
Komentar
Posting Komentar